Pembicaraan malam itu bermula dari tragedi adik kami, si bungsu keluarga kami. Yang baru tahun pertama jauh dari orang tua sakit di tanah rantauan. Adik kami sakit demam tinggi, hal biasa memang. Tapi tidak menjadi biasa mengingat si bungsu yang jarang sekali sakit, dan tentu saja mengingat ini pertama kali dia sakit tanpa ada umi kami yang merawat.
Saya khawatir, dan saya sadar saya overreacting. Saya dengan kakak sepupu menjenguknya, disambut dengan raut yang semakin membuat saya tak tahan untuk tidak memintanya mengemasi barang dan membawanya kerumah saudara kami saja. Pikir saya saat itu, saya tidak yakin dia bisa mengatasi sakitnya sendiri di asrama. Dan kekhawatiran tidak berdasar saya malam itu memicu pembicaraan panjang saya dengan kakak laki-laki saya. Pembicaraan yang membangunkan diri saya, bahwa sepertinya saya salah langkah.
Malam itu selepas adik kami telah nyaman berbaring dirumah saudara kami, kakak laki-laki saya baru saja bisa datang menemui kami. Setelah berbincang dengan adik kami, ia menarik saya keluar mengajak saya berbincang. Hal yang normal, memang begitu rutinitas kami.
"Dek, inget cerita kupu-kupu lumpuh ngga? Itu loh yang kupu-kupu waktu masih jadi kepompong, waktu lagi proses mau jadi kupu-kupu eh dia dibantu manusia yang kasian sama dia karena lihat dia kesulitan mengeluarkan dirinya dari kepompong. Terus ternyata setelah itu, dia justru jadi kupu-kupu yang lumpuh. Justru ternyata setelah dibantu manusia tadi, dia lumpuh. Inget ngga?".
Pancing kakak saya kala itu, " inget lah mas, itu kan dulu sering banget di buku-buku pelajaran".
Kakak saya lalu tersenyum, "tau ngga kenapa dia jadi lumpuh?". Saya mengangguk, " Tau, gegara dia dibantu manusia itu proses dia bermetamorfosis jadi kupu-kupu ngga sempurna. Malah justru merusak prosesnya. Walaupun kelihatan jadi cepet keluar dari kepompong sih, tapi kupu-kupu nya jadi belum siap. Lumpuh deh mas". "Nah itu dia se, sama kayak manusia. Bahwa ada saatnya setiap manusia butuh dipercaya dan didukung bukan diikut campuri, karena pada fase itu tiap-tiap manusia harus mampu melunasi proses pematangan dirinya sendiri. Sendiri. Tanpa ada campur tangan orang lain, tanpa perlu orang lain selesaikan. Hanya dia sendiri yang mampu dan harus meloloskan dirinya. Seriap jiwa harus belajar untuk sendiri, dalam artian mandiri, tidak berdiri karena topangan orang lain. Dia mandiri bukan karena tiada yang peduli, dia mandiri karena orang yang menyayanginya tak akan membuatnya justru tak mampu berdiri sendiri. Faham dek? Jadi, gimana kalau kita biarkan adek melalui fase itu? Adekmu itu bisa mandiri, kalau cuma sakit kayak gini aja kita panik dan overreacting. Gimana kalau dia punya masalah-masalah lebih besar nantinya? Dia justru jadi lemah, kita justru membuat dia jadi lemah. Jadi ayo percaya sama adek, kita jangan biarkan dia kayak kupu-kupu lumpuh tadi, ya."
Saya tercenung, "maaf mas" hanya itu yang keluar dari mulut saya kala itu. Bagi saya itu fatal, saya justru tidak membiarkan adik saya melewati fase nya. Saya justru menghambat proses pematangan dirinya." ngga apa, mas ingetin sekarang biar ngga kelewatan aja. Ini masih kejadian ringan, coba ini kebawa kalau adekmu kenapa-napa dia ketergantungan sama kita buat nyelesaiinya. Lah, kapan adek dewasa dong", ujar kakak saya menutup pembicaraan kami malam itu.
Bagi saya, itu menjadi pembelajaran besar. Seringkali kita mencampuri urusan orang yang kita kasihi, atas dalih peduli tapi justru kita menghambatnya untuk mandiri. Membuatnya 'lumpuh' dan terus bergantung kepada orang lain, apa itu yang dinamakan peduli?
Mari percaya, kita biarkan proses mendewasakan diri dihadapinya. Karena hakikatnya, hanya ia sendiri yang mampu melunasi proses pematangan dirinya.
0 komentar :
Posting Komentar